Pengembangan Model Paradigma Pendidikan Agama Konfensional dalam Masyarakat Plural

Indonesia merupakan negara yang multiagama dan etnis serta budaya, sehingga menjadi negara yang kuat. Tetapi tidak menutup kemungkinan kondisi tersebut menjadi trigger munculnya anarkisme yang disebabkan perbedaan pandangan dan praktik pendidikan khususnya pendidikan agama.

Kondisi di atas lebih disebabkan oleh rendahnya pemahaman masyarakat terhadap konsep pendidikan agama dan gagalnya internalisasi nilai-nilai pendidikan agama yang selama ini diperoleh melalui lembaga pendidikan. Di sinilah pentingnya pendidikan agama sebagai wahana paling efektif untuk menginternalisasikan nilai-nilai agama yang di dalamnya terdapat nilai demokrasi, pluralisme, toleransi, inklusivisme, dan sebagainya.

Pendidikan agama pluralisme adalah model pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai moral seperti kasih sayang, cinta kasih, tolong menolong, toleransi, tenggang rasa, menghormati perbedaan, dan semua sikap mulia lainnya yang seharusnya dimiliki setiap orang.

Saat ini marak terjadi perilaku asusila dan asosial seperti kasus pembunuhan, pemerkosaan, pelecehan seksual, korupsi, penyerangan terhadap kelompok jamaat, pembakaran tempat ibadah, dan perbuatan melawan hukum lainnya. Fenomena tersebut menunjukkan tingkat religiusitas dan spiritualitas pelakunya masih rendah. Perilaku-perilaku tersebut diyakini merupakan dampak gagalnya internalisasi nilai-nilai agama yang diperoleh baik di sekolah maupun lingkungan masyarakat dan paradigma pembelajaran pendidikan agama yang kurang relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.

Adalah Drs. Ju’subaidi, M.Ag., mengungkapkan hal tersebut dalam ujian promosi doktor Program Pascasarjana (PPs) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Ujian tersebut dihelat pada hari Kamis, 17 Desember 2015 dengan pimpinan sidang adalah Prof. Dr. Zuhdan K. Prasetyo, M.Ed.

Menurut staf pengajar di STAIN Ponorogo ini, penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah perlu dievaluasi secara komprehensif dan mendalam, mengingat tujuan pendidikan adalah adanya perubahan kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik sehingga terwujudnya manusia yang berkembang kemampuannya dalam menajalani, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan individu maupun sosial.

Pendidikan agama pada sekolah yanng memiliki keragaman agama, dan buadaya (pluralistik) sebagian besar telah mengikuti PP No, 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Secara operasional telah mengikuti Permenag No. 16 Tahun 2010 kendatipun belum sepenuhnya. Proses pembelajaran pendidikan agama melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Pembelajaran yang bersifat kurikuler masih kurang mengedepankan sikap keteladanan dan pembisaan terhadap ajaran agama.

Paradigma pelaksaanaan pendidikan agama konfensional meliputi eksklusif dan inklusif. Seiring dengan kondisi masyarakat Indonesia khususnya yang cara berfikir dan berperilaku menuntut adanya pengembangan paradigma pendidikan agama pada sekolah-sekolah pluralistik, karena mempertahankan paradigma keberagamaan yang eksklusif dan inklusif dalam pembelajaran pendidikan agama di sekolah pluralistik akan membuat tujuan pendidikan agama konfensional sulit dicapai.

Model paradigma pendidikan agama yang lebih relevan dengan kondisi sekolah yang pluralistik adalah paradigma Budaya Pluralisme Demikratis-Emansipatoris. Model paradigma ini mengakui keberagaman dan kebebasan serta memberdayakan kelompok yang lemah (grassroot).

Penelitian ini hanya sebatas konseptualisasi paradigma budaya pluralisme demokratis-emansiopatoris saja. Maka dalam akhir paparannya, mahasiswa S3 PEP (Penelitian dan Evaluasi Pendidikan) PPs UNY ini mengharapkan ada penelitian lanjutan dalam ranah implementasinya. Selain itu, Kementerian Agama sebagai penanggungjawab penyelenggaraan pendidikan agama pada sekolah, hendaknya lebih intens dlam melakukan tupoksinya untuk mengawal berbagai kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan pendidikan agama pada sekolah. Hal itu diperlukan agar tujuan pendidikan agama dapat diwujudkan secara optimal.

Berkat bimbingan intens yang diberikan tim promotor, Prof. Dr. Noeng Muhadjir dan Sumarno, Ph.D., penelitian ini bisa menghantarkan dosen pengampu mata kuliah Model Penilaian Kelas ini meraih gelar doktor kependidikan dalam bidang PEP. Dr. Ju’subaidi, M.Ag. merupakan doktor ke 300 di PPs UNY. (Rubiman).