GELAR KEHORMATAN BAGI GUBERNUR DIY

Dalam program kerja seratus hari pertama di masa “Republik Yogya”, Depdiknas menginstruksikan kepada sekolah-sekolah untuk menanamkan beberapa karakter pembangun mental dan bangsa (character and nation building) bagi subjek didik. Secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih bermakna bagi individu, tidak sekadar memberi pengetahuan (kognitif), tetapi juga menyentuh tataran afektif dan psikomotorik melalui mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Indonesia, dan Olahraga. Namun harus diakui, semua itu belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap pesatnya perubahan. Implementasinya tidak bisa berjalan optimal setidaknya oleh sebab dua hal. Pertama, kurang terampilnya para guru menyelipkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, Pendidikan Karakter perlu dire-formulasi dan dire-operasional-kan melalui transformasi budaya dan kehidupan satuan pendidikan. Kedua, sekolah terlalu fokus mengejar target akademik, khususnya agar lulus Ujian Nasional. Implikasinya, kurang diajarkan aspek kecakapan hidup (soft-skills) yang non-akademik. Sehingga sebagai unsur utama pendidikan karakter justru terabaikan. Demikian dikatakan Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam orasi ilmiahnya di Auditorium UNY, Kamis (5/9). Lebih lanjut diungkapkan bahwa pendidikan karakter mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan memudahkan orang mengembangkan kebiasaan baik. Kebiasaan ini tumbuh dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap subjek didik. “Dengan demikian, pendidikan karakter bersifat inside-out. Artinya, perilaku yang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena dorongan dari dalam, bukan karena paksaan dari luar” papar Sultan Hamengku Buwono X. Prosesnya dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Faktor bawaan berada di luar jangkauan masyarakat untuk mempengaruhinya. Pendidikan Karakter adalah daya-upaya memajukan bertumbuhnya budi-pekerti (karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh subjek didik dalam satu kesatuan utuh untuk memajukan kesempurnaan kehidupan dan penghidupannya selaras dengan dunianya. Pendidikan Karakter hendaknya menjadikan seorang anak terbiasa untuk berperilaku baik, sehingga ia juga terbiasa dan akan merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Dengan demikian, kebiasaan baik yang menjadi insting, otomatis akan membuat seorang anak merasa bersalah bila tidak melakukan kebiasaan baik tersebut. Menurut Gubernur DIY tersebut, tiga pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, perlu saling sinergis dan seimbang dalam merancang, melaksanakan dan mengembangkan pendidikan. Karena pendidikan bukan hanya tugas sekolah, justru sekolah hanya memberi kerangka dan melengkapi pendidikan utama di keluarga.

Orasi ilmiah Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah dalam rangka penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa bidang manajemen pendidikan karakter oleh UNY. Menurut Rektor UNY Sutrisna Wibawa, terpilihnya Sultan mendapat anugerah tersebut karena dinilai memiliki keistimewaan dalam mengembangkan pendidikan di DIY yang tak lepas dari budaya. “Sri Sultan Hamengku Buwono X telah mempromosikan pendidikan karakter secara strategis” kata Sutrisna Wibawa. Harapannya pendidikan karakter berbasis budaya yang diterapkan di DIY bisa diadopsi oleh pemerintah daerah lainnya karena budaya dinilai menjadi salah satu alternatif yang tepat dalam penerapan pendidikan karakter. Sebab dalam budaya terdapat pembelajaran tentang keberagaman yang bisa menguatkan integrasi dan toleransi. UNY memandang kiprah Gubernur DIY memang tidak main-main. Salah satu bukti dari konsentrasi Gubenur DIY pada pendidikan karakter ini adalah lahirnya Perda tentang Pendidikan Berbasis Budaya di DIY. Pijakan dari Perda tersebut adalah budaya asli tanah Mataram. Budaya asli kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, tanpa meninggalkan akar budaya.

Anugerah doktor honoris causa bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X dipromotori oleh Suminto A. Sayuti dan co-promotor Sugiyono. (Dedy)

.