PENGUKUHAN GURU BESAR BIDANG ILMU PEMBELAJARAN PROSES PERMESINAN

Proses pemesinan adalah merupakan suatu proses yang digunakan untuk menghilangkan sebagian dimensi dari benda kerja dengan mempergunakan mesin perkakas dan alat potong (metal cutting process) sehingga terbentuk komponen seperti yang dikehendaki. Proses pemesinan hingga saat ini merupakan proses yang paling banyak digunakan di dalam membuat suatu komponen mesin yang lengkap dan merupakan proses manufaktur yang memiliki peranan sentral dalam pembuatan suatu unit peralatan atau mesin. Tujuan dari pembelajaran pemesinan ditekankan pada pencapaian kompetensi dalam dua hal, yaitu proses kerja dan hasil kerja (produk). Proses kerja meliputi: langkah kerja, penggunaan mesin dan alat bantu, penggunaan alat ukur, perawatan mesin dan alat bantu, alokasi waktu yang digunakan, sikap kerja, dan keselamatan kerja. Sedangkan hasil kerja yang berupa produk, ditekankan pada kualitas dimensi, kualitas geometri, dan kualitas permukaan benda kerja atau tingkat kekasarannya. Agar pembelajaran proses pemesinan dapat berjalan dengan baik, peserta didik harus memiliki kemampuan pendukung di bidang gambar teknik, ilmu bahan, metrologi industri dan teori pemesinan. Demikian dikatakan Prof. Dr. Ir. Dwi Rahdiyanta, M.Pd. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pembelajaran Proses Pemesinan pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul ‘Tantangan Pembelajaran Pemesinan di Era Revolusi Industri 4.0’ itu dibacakan dihadapan rapat terbuka Senat di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Sabtu (15/2). Dwi Rahdiyanta adalah guru besar UNY ke-151.

Pria kelahiran Gunungkidul, 15 Februari 1962 tersebut mengatakan, Tantangan dalam pembelajaran pemesinan moderen adalah masalah ketersediaan fasilitas mesin CNC (Computer Numerical Controlled) dan CAD/CAM (Computer Aided Design and Computer Aided Manufacturing) di dunia pendidikan. Fasilitas mesin CNC dan CAD/ CAM di kampus/sekolah masih dirasa sangat kurang dan masih tertinggal dengan yang ada di industri. Hal ini mengakibatkan link and match antara lembaga pendidikan dengan dunia industri bermasalah. “Untuk mengatasi tantangan tersebut dan sekaligus untuk meningkatkan kesiapan kerja siswa di bidang pemesinan perlu dikembangkan model pembelajaran yang melibatkan secara langsung dunia industri atau dunia kerja” papar Dwi Rahdiyanta. Kerja sama dengan dunia industri sangat penting dilakukan karena dua pertimbangan yaitu mahalnya harga mesin CNC dan CAD/CAM dan pihak industri lebih menguasai teknologi maju.

Doktor bidang Ilmu Pendidikan Teknologi dan Kejuruan UNY tersebut memaparkan, salah satu model pembelajaran yang cocok digunakan adalah model pembelajaran teaching industry yaitu wahana produktif berbasis riset/ penelitian dan inovasi untuk mendukung proses pembelajaran yang bersinergi dengan industri dan pemerintah. Perguruan tinggi memanfaatkan teaching industry sebagai wahana untuk hilirisasi/pembuatan produk-produk hasil penelitiannya dan melatih para mahasiswa melakukan praktik real melalui praktik kerja industri atau pembelajaran di tempat kerja (Work Based Learning). Industri dapat memanfaatkan teaching industry untuk memproduksi barang atau suku cadang yang diperlukan untuk kelengkapan produknya. Pada teaching industry, sumber daya pembelajaran yang ada di kampus dapat dimanfaatkan untuk peningkatan skills dan kompetensi sumber daya manusia dalam rangka penciptaan nilai tambah dan peningkatan produktivitas. Dari model pembelajaran teaching industry di bidang pemesinan ini diharapkan akan muncul produk-produk penghiliran hasil riset dan inovasi perguruan tinggi yang diharapkan dapat masuk ke segmen pasar sebagai substitusi produk-produk impor, sehingga ketergantungan Indonesia terhadap produk impor khususnya dibidang komponen-komponen mesin dapat berkurang secara bertahap.

Warga Warungboto Umbulharjo Yogyakarta tersebut mengemukakan, di era Revolusi Industri 4.0, guru/dosen menghadapi tantangan dalam proses pembelajaran. Tantangan tersebut berasal dari perkembangan teknologi digital di bidang informasi dan komunikasi yang memberi dampak pada teknologi pembelajaran dan perubahan karakter peserta didik dalam belajar. Tantangan real yang dihadapi para guru adalah bahwa para siswa telah mengenal teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam usia yang lebih dini dari pada gurunya. Untuk mengatasi masalah tersebut para guru/dosen dituntut dapat melaksanakan pembelajaran menggunakan multi user virtual environments (MUVEs). Agar dapat melaksanakan pembelajaran menggunakan MUVEs dengan baik, para guru/dosen harus menguasai kemampuan yang terkait dengan: (1) Data Literacy, yaitu kemampuan untuk membaca, menganalisis, dan menggunakan Big Data (informasi) di dunia digital; (2) Technological Literacy, yaitu meliputi: coding, artificial intelligence, dan engineering principles (memahami cara kerja mesin, dan aplikasi teknologi); dan (3) Human Literacy (humanities, communication, dan design). (Dedy)