Teliti Pola Pendidikan Pesantren dan Radikalisme, Abdul Malik Raih Gelar Doktor Cumlaude

Pendidikan pesantren secara umum, dikenal sebagai bentuk pendidikan tauhid/aqidah, AlQuran, Hadits, Fiqh, Ushil Fiqh, dan tata cara beribadah sesuai dengan tuntunan AlQuran dan Hadits. Sebagai budaya asli Indonesia, pesantren tumbuh dan berkembang dalam kultur keIndonesiaan yang terbuka dan toleran. Hal ini kemudian membentuk identitas dan tradisi pesantren menjadi lembaga pendidikan berbasis kearifan lokal, dimana nilai-nilai kesederhanaan, keterbukaan, dan kebersamaan dijunjung tinggi.

Akan tetapi, seiring perkembangan jaman, pesantren telah banyak mengalami perubahan. Pola pendidikan pesantren yang sudah dikenal mapan dan berakar kuat dalam masyarakat, akhir – akhir ini justru mendapatkan stigma negatif dan bahkan perannya dipertanyakan kembali oleh sebagian masyarakat sejak meluasnya isu radikalisme dan terorisme di Tanah Air.

Sementara itu, berdasarkan data resmi dari pemerintah, telah terjadi rentetan kasus radikalisme agama di kota Bima, Nusa Tenggara Barat, yang telah banyak berkembang pesantren. Di sana menjadi tempat pelarian buronan teroris, termasuk jaringan Poso yang dipimpin Santoso. Retetan kasus radikalisme agama, baik yang terjadi di Bima secara umum maupun di pesantren secara khusus tidak otomatis menunjukkan bahwa pola pendidikan dalam pesantren tersebut radikal, atau memiliki hubungan dengan paham radikal, serta tidak dapat disimpulkan bahwa pola pendidikan pesantren tersebut mendukung proses radikalisasai ajaran agama. Kendati demikian, terdapat sejumlah indikasi, asumsi, fenomena, kasus, dan prejudice masyarakat baik langsung maupun tidak, mengarah pada kecenderungan adanya hubungan antara pesantren dan paham radikal.

Menyadari hal tersebut, maka penelitian tentang pola pendidikan pesantren dan radikalisme mendesak untuk dilakukan. Melalui karya disertasinya, Abdul Malik melakukan penelitian pada dua pesantren di kota Bima. “Pola Pendidikan Pesantren dan Radikalisme” merupakan judul penelitian yang berhasil dipertahankan di depan tim penguji yang dipimpin langsung oleh Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., MA., pada hari Senin, 14 November 2016.

Dari penelitian tersebut, berhasil diungkap bahwa pola pendidikan indoktrinatif dan ekslusif yang diterapkan pada dua pesantren di kota Bima. “Di sana lebih menekankan pada pola pendidikan satu arah, dalam pengertian seorang ustad sebagai pusat dari proses pendidikan. Santri sebagai objek belajar, hanya menerima secara take for granted apa yang diajarkan ustad, “ungkap dosen IAIN Mataram Lombok ini.

“Sedangkan pola ekslusif dapat dilihat dari rujukan kurikulum yang dibatasi pada kitab ulama-ulama tertentu. Muatan kurikulum yang dimiliki pesantren ditentukan secara mandiri tidak mengikuti kurikulum pemerintah. Ideologi hanya bersandar pada pemahaman agama yang tertutup, “tambahnya.

Kultur pendidikan yang dikembangkan di pesantren yang diteliti tersebut memiliki kecenderungan pada radikal dan ekslusifisme. Secara umum kultur yang dibangun terindikasi adanya batas-batas interaksi dengan dunia luar, sehingga dikhawatirkan melahirkan sikap klaim benar sendiri dan menyalahkan orang lain.

Stigma negatif tentang radikalisme pada kedua pesantren di kota Bima disebabkan banyak faktor. Kasus terorisme rentang waktu 2011 sampai 2014, secara faktual kedua pesantren di Bima memiliki hubungan dengan kasus terorisme tersebut. Selain itu, mayoritas ustad dan pengelola dari kedua lembaga tersebut memiiki hubungan dengan organisasi Jama’ah Islamiyah (JI) yang ditengarai pemerintah maupun dunia sebagai organisasi Islam radikal.

Dengan penuh percaya diri, Asesor BAN PNF ini memberikan usulan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan, membangun kerjasama, dan mengeluarkan kebijakan yang mengikat mengenai pelaksanaan proses pendidikan di pesantren tradisional, terutama trakit dengan kurikulum dan materi ajar. “Pesantren hendaknya dijadikan mitra untuk deradikalisasi yang lebih persuasive dan menggunakan pendekatan soft approach melalui akses-akses edukatif. Upaya ini saya kira akan efektif menanggulangi meluasnya radikalisasi berkedok pendidikan, “tutupnya.

Prof. Dr. Ajat Sudrajat dan Prof. Dr. Farida Hanum selaku tim promotor  merasa bangga, akhirnya bimbingan yang diberikan keduanya berhasil mengantarkan mahasiswa S3 Ilmu Pendidian ini meraih gelar doktor dengan predikat Cumlaude. Dr. Abdul Malik merupakan doktor ke 345 di Program Pascasarjana UNY. (Rubiman).