Perkembangan Pendidikan Prasekolah di Malaysia

.PPs UNY semakin melebarkan sayap kerjasama dengan lembaga atau universitas di luar negeri. Salah satunya dengan mengundang pakar untuk mengisi kuliah umum di Prodi Pendidikan Luar Sekolah (PLS) PPs UNY. Hadir sebagai narasumber yaitu Associate Prof. Dr. Mariani dari University of Malaya, Malaysia. Asisten Direktur I PPs UNY, Prof. Pardjono, Ph.D. yang sekaligus membuka kuliah umum tersebut mengemukakan bahwa mulai tahun ini ada kewajiban bagi setiap prodi untuk memfasilitasi mahasiswa menampung jurnal ilmiah atau hasil penelitian setelah lulus. Pada program Students Exchange yang sedang dirintis,  mahasiswa Malaysia akan berkunjung ke UNY, sit in dengan UM melalui seleksi , dan joint research. Hal senada diungkapkan Kaprodi PLS PPs UNY, Prof. Dr. Yoyon Suryono. Beliau menekankan bahwa Joint program direncanakan untuk S1 dan S2. Bapak Suparno yang merupakan dosen PAUD UNY juga berkesempatan untuk menjadi dosen di Malaysia yang mana sebelumnya sudah bertemu dengan Dekan dan kunjungan ke laboratorium PAUD.

Kuliah umum dengan tema “Perkembangan Pendidikan Prasekolah” tersebut digelar pada Rabu (17/01) di Aula PPs UNY dan diikuti oleh mahasiswa S2 PLS UNY angkatan 2011 dan 2012. Assoc. Prof. Dr. Mariani menjelaskan bahwa pendidikan awal kanak-kanak di Malaysia berbeda dengan di Indonesia. Di Malaysia dinamakan dengan tadika (taman pendidikan kanak-kanak/TK), sedangkan di Indonesia dinamakan dengan PAUD. Tadika telah diwujudkan sebelum tahun 1940an yang diusahakan oleh misionaris Kristen. Selanjutnya pada tahun 1969, Yayasan Asia menyiapkan data untuk anak-anak yang kekurangan biaya karena sebelum merdeka Tadika hanya untuk orang kaya. Tahun 1972 jabatan dalam kerajaan ada 2 jenis yaitu,TK kerajaan (TK sekolah kebangsaan & kemas jabatan perpaduan, tabika) dan TK swasta (NGOS, TK agama, KSPQ ( standart kurikulum sbg garis panduan).

Di Malaysia, pendidikan prasekolah menggunakan pendekatan fun with learning dan ada ujian linus (literacy & humanisi). Orang tua peserta didik juga mengharapkan anak untuk tidak hanya bermain dan guru harus memastikan anak bisa linus. Mulai tahun ini tidak ada pemeriksaan tetapi penilaian membaca dan menulis. Kegiatan bermain tetap akan dikaitkan dengan pelajaran menulis. Ada 4 tahapan pembelajaran yang dilakukan yaitu, membaca, menulis, mengira, menakul. Hasil analisa yang telah dilakukan menunjukkan bahwa anak yang berkebutuhan khusus tetap dapat mengikuti ujian linus dengan waktu yang lebih lama dari anak normal yang hanya 2-3 bulan. (Tristanti/Sinta)