Model Evaluasi Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif Yang Bermutu Tingkat Menengah

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel).

Di Indonesia, masih terdapat pengelolaan pendidikan dengan konsep segregasi. Dengan konsep ini, berdampak pada siswa berkebutuhan khusus yang tersebar di seluruh daerah/pelosok tidak terlayani, seringkali masih dipandang sebelah mata, terisolasi dan terdiskriminasi. Oleh karena itu, sekolah Inklusif menjembatani agar tidak ada peserta didik yang tereksklusi dan terdiskriminasi dalam mendapatkan layanan pendidikan dengan alasan apapun terlebih bagi penyandang disabilitas. Program pendidikan inklusif bertujuan agar setiap siswa berhak mendapatkan pendidikan atas dasar kesamaan kesempatan, memberikan layanan pendidikan kepada seluruh peserta didik tanpa terkecuali serta memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan individu. Semua siswa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dapat bersekolah di sekolah reguler terdekat (penyelenggara inklusif), sehingga meminimalisir anak tidak mendapatkan layanan pendidikan atau angka putus sekolah.

Itulah latar belakang penelitian yang dilakukan mahasiswa doktoral Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Program Pascasarjana (PPs) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Jatu Kaannaha Putri. “Pengembangan Model Evaluasi Program Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Yang Bermutu Tingkat Menengah” adalah judul disertasi yang berhasil dipertahankan dalam ujian terbuka promosi doktor PPs UNY pada Senin, 20 Juni 2016. Dari promosi ini mampu mengantarkan mahasiswa bimbingan Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., MA dan Sumarno Ph.D. ini meraih gelar Doktor PEP yang merupakan doktor ke 323 di PPs UNY.

Menurut Staf Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud RI, masih tercatat 245.027 siswa berkebutuhan khusus yang belum mengenyam pendidikan di sekolah berdasarkan data PKLK tahun 2010-2014.

“Penyelenggaraan pendidikan inklusif pada tingkat menengah seharusnya telah memenuhi 6 kaidah/pedoman yang telah diterbitkan oleh Kemendiknas. Namun, masih banyak hal-hal yang belum terakomodasi, misalnya ketentuan mengenai jumlah rasio perbandingan jenis kekhususan/kecacatan dengan siswa normal dan daya tampung kelas serta kemampuan guru/sekolah dalam memberikan pelayanan pendidikan, “ungkapnya.

“Hingga saat ini belum jelas ada tidaknya laporan individu terkait perkembangan remediasi/layanan program individu dari kekurangan/ketidakmampuan yang dialami siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusif. Selain itu, masih terdapat beberapa hal yang belum terakomodir dalam buku pedoman yang dikeluarkan Kemendiknas tersebut, “tambahnya.

Model evaluasi yang dihasilkan dari penelitian ini untuk mempermudah sekolah penyelenggara program inklusif dalam mengevaluasi program. Melalui evaluasi secara berkala akan membantu sekolah untuk melakukan perbaikan program secara continue sehingga mampu menjadi sekolah penyelenggara program inklusif yang bermutu. Sekolah yang bermutu pastilah akan memiliki nilai lebih serta menjadi nilai keunggulan di segmennya.

“Model ini juga mampu menemukan masalah dan kendala serta membuat skema solusi. Selain itu,  mampu mengukur standart/kriteria penyelenggaraan program pendidikan inklusif tingkat menengah sehingga menunjukkan  hasil dari penyelenggaraan program pendidikan inklusif, “pungkasnya.
(Rubiman).