Arah Baru Prodi PLS PPs UNY Unggul di Asia Tenggara

Program Studi S2 PLS PPs UNY mengadakan sosialisasi arah baru prodi S1, S2, dan S3 PLS (PNFI/PAUDNI) yang tertuang dalam visi dan misi 2025 melalui kuliah umum. Kegiatan yang dilaksanakan pada hari Senin, 24 Maret 2014 di Aula PPs UNY  ini menghadirkan tiga orang pembicara yaitu, Prof. Dr. Sunyoto Usman dari UGM, kaprodi S2 PLS Prof. Dr. Yoyon Suryono, MS. dan Sumarno, Ph.D dan diikuti oleh mahasiswa PLS UNY baik yang S1 maupun S2.

Prof. Dr. Yoyon Suryono menyampaikan arah baru prodi PLS yang tertuang dalam Visi PLS 2025. PLS diarahkan melalui kegiatan Prodi untuk bisa unggul di Asia Tenggara memperkuat kapasitas, mewujudkan PLS yang holistik, dan memberdayakan masyarakat agar menjadi masyarakat yang maju mandiri berbasis pengetahuan degan nilai dasar taqwa, mandiri dan cendekia.. Saat ini universitas penyelenggara Prodi PLS di Indonesia masih sedikit di antaranya UPI, UNY, UNNES, UM, dan UNESA. Padahal kebutuhan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan bidang luar sekolah saat ini sangat banyak.

Pada jenjang S1 PLS diharapkan mampu menjadi pengembang dan pengelola program strategis. Untuk jenjang S2 pengembang program inovatif dan S-3 mampu menjadi ahli pengembang keilmuan. Bidang garapan PLS salah satunya adalah kewirausahaan sosial. Di dalamnya terdapat delapan bidang yang semuanya dalam hal pendidikan antara lain PAUD, kecakapan hidup, keaksaraan, kesetaraan, pemberdayaan perempuan, kepemudaan, orang dewasa, dan keterampilan dan pelatihan kerja.

Mantan Dekan FISIPOL UGM, Prof. Dr. Sunyoto Usman menyampaikan makalah berjudul "Pengembangan Masyarakat Desa Penyangga Bencana". Dalam paparannya, beliau menyampaikan bahwa bencana merupakan fenomena alam yang mau tidak mau tetap akan kita hadapi sewaktu-waktu. Selain itu, mengingat negara kita banyak gunung berapi, juga masuk kawasan rentan gempa bumi maka siaga bencana adalah hal yang mutlak kita perlukan.

Salah satu strategi untuk menggalakkan siaga bencana adalah dengan mengembangkan masyarakat desa penyangga bencana (buffer society). Dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah, LSM, dan kalangan pengusaha diharapkan dapat mengembangkan desa penyangga bencana yang mampu menjamin keamanan, kenyamanan, dan suasana kondusif bagi korban bencana dalam melakukan aktivitas hidupnya.

Terdapat tiga aspek yang perlu diperhartikan dalam pengembangan masyarakat penyangga bencana yaitu, pengelolaan dan perbaikan infrastruktur yang membuka akses terhadap pelbagai bentuk pelayanan tanggap darurat, peningkatan kapasitas personal, komunitas, dan sistem yang berpeluang untuk berpartisipasi aktif dalam transisi selama proses evakuasi korban bencana, dan peningkatan jejaring sosial di antara pihak-pihak yang peduli terhadap aktivitas tanggap darurat.

Pada sesi terakhir, dosen PLS, Sumarno, Ph.D. menyampaikan makalahnya yang berjudul Kewirausahaan Sosial sebagai Kekuatan Baru dalam Pendidikan dan Pembangunan. Dalam paparannya disampaikan beberapa hal antara lain, proliferasi problem dan tantangan kehidupan, involusi kehidupan, pendekatan ekonomikal, kebutuhan terobosan inkonvensional, pendekatan sosial, dan pendidikan berbasis kewirausahaan sosial.

Dengan adanya pasar bebas terjadi transisional yang mengakibatkan timbulnya problem multidimensi seperti ketimpangan, kegalauan, human traficking, pemanasan global, bencana alam, dan penyalhgunaan ipteks dan narkoba. Problem kehidupan semakin rumit tersebut tidak diimbangi dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Selain itu, lingkungan sekolah belum bisa berbuat banyak untuk ikut andil mengatasi problem di atas sehingga memberikan peluang bagi kalangan luar sekolah untuk berbuat agar masyarakat lebih siap menghadapi problem kehidupan.

Saat ini tantangan yang kita hadapi antara lain berpacu dengan waktu yang terus berjalan, berpacu dengan semakin menigkatnya problem. Sedangkan kita hanya mampu reaktif, kurang preventif, dan kurang antisipatif. Persoalan lainnya adalah ketidakjelasan konsep, indikator, dan ukuran keberhasilan menghadapi problem di atas.

Dikhawatirkan akan ada involusi gaya baru yang ditandai dengan peningkatan kerumitan tidak diikuti dengan peningkatan kemanfaatn yang sebanding, biaya hidup tinggi, alienasi, penyimpangan, pelanggaran pada tingkat individual, kelompok, organisasi, dan bangsa. Hal tersebut memberikan konsekuensi adanya keterbelakangan, ketertingalan, frustasi, dan paranoid.

Di akhir paparannya, Sumarno, Ph.D. menyatakan pentingnya pendidikan berbasis kewirausahaan sosial, terobosan pendekatan sosial sebagai komplementasi yang memadukan pendekatan ekonomik secara struktural dan kultural dengan pendekatan sosial yang berisi social values dan social  capital untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang kita dambakan. (Rb)